Friday, April 27, 2007

Problem Partisipasi Masyarakat; Dalam Penataan Ruang Di Era Otonomi Daerah

Problem Partisipasi Masyarakat

Dalam Penataan Ruang Di Era Otonomi Daerah

Oleh : RM Kurniawann Desiarto

Membaca tulisan Sutaryono di harian ini (Partisipasi Masyarakat, Otda dan Penataan Ruang/13/02/06) memang perlu diapresiasi. Penataan ruang sering dimaknai secara beragam, mulai dari pemahaman bahwa penataan ruang merupakan arahan pola pemanfaatan ruang sampai pemahaman minor bahwa penataan ruang sebagao alat bargaining antarara birokrat dan pihak swasta/investor. Padahal dalam penataan ruang, peran serta masyarakat telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya tulisan Sutaryono tersebut terdapat benang merahnya dengan apa yang ditulis oleh Abdul Muid Badrun dalam harian ini pula (Yogyakarta kota Belanja?, 07/02/06). Badrun amat menyayangkan pembangunan pusat-pusat perdagangan yang meramaikan kota Yogyakarta. Padahal pusat-pusat perdagngan di kota Yogyakarta sudah relatif lengkap. Dengan banyaknya mall justru membuat tingginya biaya hidup. Dari kedua tulisan tersebut muncul pertanyaan, bagaimana pengaruh sosiologis dan geografisnya atat ruang yang diperuntukkan sebagai pusat perdagangan? Apakah pembangunan pusat-pusat perdagangan merupakan konsep yang benar dan dapat diterima semua pihak? Terakhir, dimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota?

Disparitas Desa-Kota

Suatu pandangan geografis menurut N. Daldjoeni (1987), mengenai permasalahan kota tidak dapat dilepaskan dari masalah persebaran dan hirarki pemuliman kota. Banyak literatur membahas dikotomi kota-desa, dimana acapkali dilihat negatif, karena mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan penduduk desa. Melihat kenyataan ini, Friedmann menulis, The city was then more dependent upon the farm than the other way arround; instead of symbiotic (natural), there tended to be only a parasitic one sided relationship, with the city exploiting the country side.

Sosiolog Hoselitz mengungkapkan bahwa kota besar, melancarkan sifat-sifat parasiternya terhadap pedesaan dengan perincian: menelaah habis investasi, menyedot tenaga manusia, mendominasi pola manusiawi, mengganggu perkembangan kota-kota lain yang lebih kecil, cenderung memiliki konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya.

Paul Harrison dalam bukunya berjudul Inside the third World (1984) menyebutkan, relasi antara kota dengan pedesaan didunia ketiga mirip sekali dengan relasi antara negara kaya dan miskin. Pedesaan menghasilkan bahan-bahan serba murahan dibandingkan dengan segalanya yang didatangkan dari kota. Pedesaan tak memiliki sistem organisasi dan organisasi yang mampu memaksakan pihak kota untuk membayarnya dengan harga lebih tinggi.

Akibat lainnya yang lebih parah adalah wilayah perkotaan semakin mengalami pemadatan dan menurunnya jumlah usia produktif dipedesaan. Kota telah menjadi daya tarik tersendiri dengan adanya pusat-pusat perdagangan yang merebak. Pemanfaatan lahan kosong akam lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi daripada kepentingan yang lain. Dengan adanya pemadatan wilayah perkotaan, maka semakin berkurang kualitas kehidupan, menjalarnya kemiskinan dan peningkatan ketidakadilan sosial karena banyak terjadi penggusuran.

Partisipasi Penataan Ruang

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sangat membutuhkan adanya partisipasi masyarakat, yang berkaitan erat dengan asas keterbukaan dan asas keadilan. Tanpa menggunakan kedua asas itu tidak akan jalan desntralisasi pemerintahan didaerah, termasuk dalam hal penataan ruang. Era otonomi daerah berarti tiap daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk dapat mewujudkannnya maka tata ruang kota haruslah dapat menciptakan kota yang sesuai dengan tata nilai yang mencakup kehidupan sosial. Ekonomi, dan budaya. Hanya saja, masalah tata ruang ini masih dinilai oleh banyak orang, terutama masyarakat pada umumnya, bahwa rencana pembangunan kota hanyalah untuk konsumsi kelas menengah keatas. Dimana para stakeholder yang ada yaitu, pemerintah, swasta, dan masyarakat kurang memiliki posisi yang seimbang.

Sementara dimasyarakat sendiri terdapat stratifikasi pembagian kelas yang memiliki karakteristik dan gaya hidup yang berbeda. Sekalipun demikian, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sangat dibutuhkan. Sebab, baik pemerintah maupun swasta dengan segelintir kelompok kelas atas yang tergabung didalamnya tidak mampu menjamin terciptanya tata ruang yang baik. Dalam blue-print tata ruang diperlukan perencanaan yang akan ditindak-lanjuti, dimana pemerintah selain melibatkan swasta juga benar-benar melibatkan masyarakat. Sehingga jangan sampai terjadi tata ruang kota dijadikan sebagai bisnis ruang/tanah dengan mengorbankan kepentingan sebagian besar warga kota.

Secara normatif, partisipasi masyarakat telah diatur dalam Permendagri No.9 Tahun 1998 tentang Peran serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah Jo. Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam Pasal 9 Permendagri No.9/1998 antara lain disebutkan, peran serta masyarakat dalam proses perencanaan RUTR kabupaten/kota; pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai dan pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Peran serta masyarakat dalam perencanaan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dalam penelitian dan pengembangan dengan dan/atau bantuan tenaga ahli kepada Bappeda kabupaten/kota (Pasal 47 Permendagri 9/1998).

Pemberian kewenangan membangun pada daerah yang menyerap aspirasi masyarakat telah menjadi suatu kebudayaan baru. Apabila upaya pemberdayaan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pengembangan kotanya dapat diwujudkan, diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sense of belonging, sense of conserving, sense of preserving, sense of beautifying seluruh warga dan institusi perkotaan. Pemerintah kotapun diharapkan menegakkan prinsip sustainability as the principle and good governance as the practice (Hadi Sabari Yunus, 2005).

Menurut Mitlin dan Satterthwaite (1996) visi good governance dituntut mampu mewujudkan enam aspek kehidupan kota, antara lain: (1). Mengembalikan fungsi dan sifat demokratis yang sebenarnya; (2) Sistem kerja yang accountable; (3) Mekanisme kerja yang transparan; (4) Kemampuan bekerjasama dengan berbagai kalangan masyarakat; (5) Kepedulian besar terhadap penduduk miskin dikota dengan cara mengentaskian mereka dari kemiskinan dan memberdayakan mereka disektor ekonomi, dan; (6) Kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup dalam rangka komitmen yang besar terhadap sustainable development.

Akhirnya kita hanya dapat berharap, bahwa pemrintah kota akan melibatkan masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Karena pada dasarnya pembangunan kota bukan untuk dinikmati oleh kalangan tertentu saja, melainkan oleh semua lapisan masyarakat sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraannya.Singkat kalimat, pembangunan pusat-pusat perdagangan bukan solusi yang sangat tepat, justru melahirkan sikap konsumtif dan kian memperlebar kesenjangan yang memang sudah terjadi dimasyarakat kita




RM Kurniawan Desiarto adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

No comments: